Minggu, 19 Desember 2010

Terumbu Karang Indonesia



Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki lebih kurang 17.508 pulau, dengan sekitar 6.000 di antaranya merupakan pulau yang berpenduduk. Indonesia secara keseluruhan juga memiliki garis pantai terpanjang di dunia yakni 81.000 km yang merupakan 14% dari garis pantai yang ada di seluruh dunia. Luas laut Indonesia mencapai 5,8 juta km2, atau mendekati 70% dari luas keseluruhan negara Indonesia.

Iklim musiman Indonesia terkategorikan menjadi dua, yakni musim hujan dan musim kering, yang keduanya dipisahkan oleh musim peralihan. Musim kering secara umum berlangsung mulai Bulan Juni hingga September dan dipengaruhi oleh massa udara dari belahan Benua Australia. Musim hujan terjadi mulai Bulan Desember hingga Maret, dipengaruhi oleh massa udara dari Laut Pasifik dan Benua Asia. Selama kedua musim ini, angin bergerak stabil dan bervariasi dari yang pelan hingga cukup kencang. Musim peralihan berlangsung mulai Bulan April hingga Mei, dan Bulan Oktober hingga November, yang umumnya ditandai dengan pergerakan angin yang tidak stabil.

Laut Indonesia juga mengalami iklim musiman. Musim Timur Laut ditandai dengan tekanan udara tinggi di Asia dan tekanan udara rendah di Australia, dan terjadi pada musim hujan. Musim Tenggara berlangsung selama beberapa bulan pada musim kering, dan ditandai oleh tekanan udara tinggi di Australia dan tekanan udara rendah di Asia.

Ekosistem di laut Indonesia tercatat sangat bervariasi, khususnya ekosistem pesisir. Ekosistem-ekosistem ini menopang kehidupan dari sekian banyak spesies. Indonesia merupakan rumah bagi hutan bakau yang sangat luas dan padang lamun, serta juga menjadi rumah bagi sebagian besar terumbu karang yang luar biasa, yang ada di Asia.

Terumbu karang di Indonesia ditemui sangat berlimpah di wilayah kepulauan bagian timur (meliputi Bali, Flores, Banda dan Sulawesi). Namun juga terdapat di perairan Sumatera dan Jawa. Indonesia menopang tipe terumbu karang yang bervariasi (terumbu karang tepi, penghalang dan atol). Namun tipe terumbu karang yang dominan di

Indonesia ialah terumbu karang tepi.Terumbu karang tepi ini dapat dijumpai sepanjang pesisir Sulawesi, Maluku, Barat dan Utara Papua, Madura, Bali, dan sejumlah pulau-pulau kecil di luar pesisir Barat dan Timur Sumatera. Tipe Patch reefs (terumbu karang yang mengumpul) paling baik terbentuk di wilayah Kepulauan Seribu, sedangkan terumbu karang penghalang paling baik terbentuk di sepanjang tepi Paparan Sunda, bagian Timur Kalimantan dan sekitar Kepulauan Togean (Sulawesi Tengah). Terdapat pula beberapa atol, contohnya ialah Taka Bone Rate di Laut Flores merupakan atol terbesar ketiga di dunia.

Interaksi Penduduk dengan Terumbu Karang

Zona pesisir Indonesia menopang kehidupan sekitar 60% dari 182 juta penduduk Indonesia. Pada beberapa wilayah tertentu, komunitas lokal sangat bergantung kepada banyak tipe terumbu karang dan hewan laut di terumbu karang, untuk pakan sehari-hari dan untuk diperdagangkan. Termasuk di dalamnya ialah penyu, berbagai jenis ikan, berbagai jenis moluska (hewan bertubuh lunak yakni kerang dan siput laut), krustasea (udang-udangan) dan ekhinodermata (hewan berkulit duri contohnya teripang).

Keuntungan yang diperoleh bagi penduduk dari terumbu karang sangatlah beragam, seperti halnya:

Terumbu karang secara tradisional dimanfaatkan sebagai bahan bangunan karena mengandung kapur. Demikian pula pasir yang diambil dari ekosistem terumbu karang digunakan sebagai bahan campuran semen. Kerang atau tiram raksasa diambil cangkangnya untuk dijadikan bahan pembuat lantai bangunan.Terumbu karang menyediakan sumber pakan yang berlimpah bagi penduduk Indonesia. Banyak sekali ikan-ikan karang, hewan-hewan moluska, ekhinodermata dan krustasea ditangkap, dan dimakan karena mereka memiliki daging yang bergizi tinggi sebagai sumber pakan.

Ancaman Kerusakan Terumbu Karang oleh Faktor Anthropogenik

Penyebab utama kerusakan dan penurunan kualitas terumbu karang diduga paling banyak berasal dari penangkapan ikan dengan cara yang merusak, penambangan karang dan sedimentasi.

Penangkapan ikan dengan cara yang merusak meliputi penggunaan dinamit sebagai alat pengebom, penggunaan sianida sebagai racun, teknik muro-ami dan jaring penangkap ikan merusak (contohnya bubu). Pengeboman terumbu karang dengan maksud mendapatkan ikan merupakan praktek yang umum di seluruh laut Indonesia. Sianida sebagai racun sering digunakan untuk menangkap ikan-ikan ornamental (untuk hiasan akuarium laut) di banyak wilayah di Indonesia.

Aktivitas kapal dari nelayan dan kegiatan olahraga air serta wisata bahari juga menyebabkan kerusakan terumbu karang, melalui jaring tangkap yang digunakan oleh nelayan, pembuangan jangkar kapal dan aktivitas berjalan-jalan di atas karang yang merupakan hasil dari kegiatan wisata bahari.

Pengelolaan Terumbu Karang

Pembentukan pengelolaan terumbu karang yang menjadi bagian dari Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu (Intergrated Coastal Zone Management) di Indonesia, menghadapi tantangan-tantangan akibat dari kurangnya dukungan keuangan, teknologi yang kurang memadai, dan sumberdaya manusianya.

Masalah-masalah yang dihadapi oleh pengelolaan wilayah pesisir di Indonesia mirip dengan negara-negara ASEAN lainnya, beberapa masalah yang sangat kritikal disebutkan di bawah ini:

* Degradasi dari ekosistem pesisir dan laut, termasuk ekosistem terumbu karang.

* Pencemaran terhadap lingkungan pesisir dan laut.

* Eksploitasi secara berlebihan terhadap sumberdaya yang ada di pesisir dan laut, dan telah meluasnya pengambilan secara ilegal terhadap sumberdaya laut.

Perkembangan ke arah pembangunan strategi nasional dari pengelolaan wilayah pesisir terpadu relatif kecil, demikian pula dengan perlindungan terhadap keanekaragaman hayati laut. Masalah-masalah di atas dimungkinkan terjadi akibat kondisi sistem pengelolaan di Indonesia yang dapat digambarkan sebagai berikut:

* Ketiadaan koordinasi terhadap perencanaan pembangunan antara level pemerintahan lokal (propinsi) dengan level pemerintahan pusat, demikian pula pada level antar instansi atau departemen.

* Lemahnya penegakan hukum dari undang-undang dan peraturan yang berlaku sehubungan dengan pemanfaatan sumberdaya pesisir dan laut.

Sebuah daerah perlindungan yang berbasis masyarakat lokal telah terbentuk di Desa Blongko, Sulawesi Utara, pada Bulan Oktober 1998, setelah sebelumnya melalui proses perencanaan partisipatif selama satu tahun, yang difasilitasi oleh Proyek Pesisir-Nature Resource Management (NRM) dari Jakarta. Daerah perlindungan laut yang terbentuk ini meliputi area seluas 10 ha. Hasil studi awal menunjukkan adanya peningkatan kelimpahan jumlah ikan setelah diberlakukannya daerah perlindungan laut ini selama satu tahun, dan juga peningkatan terhadap persentase tutupan karang hidup secara keseluruhan.

Akan tetapi, hasil jangka panjang akan lebih menunjukkan apakah daerah perlindungan ini dapat mendukung konservasi dari ekosistem yang ada, dan juga memuaskan kebutuhan pokok dari masyarakat lokal, atau tidak. Hal yang terpenting ialah bahwa masyarakat lokal memiliki akses dan kontribusi penuh di dalam perencanaan, pengembangan, dan pengelolaan dari daerah perlindungan laut ini. Dengan demikian mereka akan mengambil tanggung jawab di dalam menjaga sumberdaya alam yang mereka miliki dan menentukan masa depan mereka sendiri.

sumber : http://www.terangi.or.id/id/index.php?option=com_content&task=view&id=68&Itemid=41